Banyak hal yang bisa menjatuhkan kita. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkan kita adalah sikap kita sendiri.

Selasa, 15 Mei 2012

Istighfar itu melonggarkan

Tadi pagi salah satu dari anak kembarku yang kuliah di Jogya meng` sms` aku, isinya begini : 

"Maa kenapa yaa? ada orang yang hidupnya selalu saja di taburi dengan keberuntungan, padahal dia tuh gak lurus-lurus amat akhlagnya, aku tau persis kok, dia selalu beruntung, dan semua keberuntungannya itu sepertinya tanpa di dahului dengan upaya kerja keras, sementara aku? mau apa-apa tuh harus selalu jungkir balik dulu, itupun kadang ada gagalnya."

Lama benar aku terdiam, sebelum benar-benar siap menjawab pertanyaan anakku. 
Lantas sambil terus berdzikir khafi (dzikir dalam hati) aku mulai memikirkan jawaban bagi anakku.
Kita semua tahu bahwa hidup ini sesungguhnya diperuntukkan untuk bersyukur. 

Hidup adalah untuk mensyukuri realitas apapun.
Termasuk mensyukuri proses berliku nan panjang, dalam setiap upaya guna mencapai ketidak-pastian keberhasilan.

Mungkin anakku sendiri lupa menyadari, bahwa untuk melihatnya tumbuh besar seperti sekarang, aku pun mengalami hal yang sama, aku butuh waktu cukup lama untuk membuatnya menjadi seorang gadis yang mampu tampil full dengan rasa percaya diri yang positiv. 

Ada fase yang teramat sulit untuk di pahami kala itu, aku selaku ibunya merasa merasa sangat yakin, anakku ini tergolong anak yang cerdas, namun entah mengapa ia seperti selalu dan selalu tak yakin akan keberuntungannya. Bahwa untuk menjadi baik, terpilih dan selalu merasa beruntung itu justru ada disaat kita `dikurangi` porsinya. 

Inilah yang disebut-sebut sebagai cara lain atau jalan pintas bagi keberuntungan itu sendiri, karena keberuntungan yang sesungguhnya adalah hasil dari kesiapan kita untuk senantiasa mensyukuri. 
Bisa jadi, apa yang dilihat oleh anakku pada contoh keberuntungan temannya itu bukanlah `keberuntungan sejati`, akan tetapi hanyalah sebuah wujud dari `kemudahan`. 
Dan kita semua tau, apapun yang didapat dengan amat sangat mudah, biasanya akan mudah pula lepas dari tangan kita. 
Lain halnya jika kita mendapatkan sesuatu itu dengan susah payah, maka pastinya juga, kita terlatih untuk menghargai, lantas jika seseorang terbiasa menghargai sebuah hasil, ia akan berupaya untuk mulai berempati.  

Tak ubahnya seperti rangkaian tangga yang memutar dan berliku-liku panjang.
Dengan ‘menikmati’ langkah demi langkah meniti tujuan, seseorang akan terlatih untuk senantiasa bersyukur, menghargai jerih payah sendiri serta hasilnya.
Ini adalah wujud dari sebentuk rasa syukur pada diri sendiri yang  sudah MAU menapaki titian.

Bila langkah demi langkah itu dinikmati, selalu mensyukuri,  niscaya kita tak akan pernah berasa kecewa bila setiba di puncak tangga tujuan, ternyata hasilnya tidak sesuai harapan, karena selalu yakin, segalanya akan dipergulirkan.

Setelah terdiam sejenak, segera kuraih ponselku, diseberang sana anakku menyambutkan dengan tawa.
"Aiiih mama ini looh, baru aja aku mau telepon, mama jangan kuatir, aku baik2 aja, tadi itu aku hanya sekedar ingin share dengan mama, dan .. ehmmm ...temanku gak bisa kayak kita ini maa, aku sama mama kan ikatan emosional selangit, kita suka ngerasa sesuatu itu secara bersamaan.." Celoteh anakku itu diakhiri dengan tawa nya yang khas. 

"Tuuuh pintelll anak mama, bilang apa ayooo?" Candaku pada ndoel di seberang sana..
"Iya maa, allhamdullillah wa syukurillah ya Allah, aku merasa beruntung punya mama yang huebaaat." Sambungnya lagi, disusul dengan cerita-cerita lainnya.

Ternyata hidup ini ruarrr biasa, tapi sudah barang tentu tak gratis, ada sesuatu yang harus dibayar tunai, yaitu ada doa dan upaya disertai kekuatan penuh dan yakin akan pertolongan Allah ..

Dalam hadits disebutkan :

مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Siapa yang kontinyu beristighfar maka Allah jadikan baginya jalan keluar dari setiap kesulitannya, kesudahan dari setiap kesedihannya, dan memberinya rizki dari jalan yang tidak ia sangka.” 
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah) 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar