Gangan, Krete Angin, dan Satam...
Pertama kali aku menginjakkan kaki di Pulau Belitung
ini, yaitu di pelataran airport Buluh Tumbang, rasanya aneh sekali, aku kok gak
merasa seperti kehilangan ya?, padahal ini berarti aku telah resmi berpisah
dengan keluarga besarku di P. Jawa.
Keluar dari bandara Buluh Tumbang, aku
mulai disergap hangatnya sinar matahari pagi, belum seberapa terasa gerah bin
hareudang, karena mungkin saja suhu tubuhku masih berisi pasokan `cinta
pengantin baru`, heuheuy dedeuhh…
Apa yang terekam di benakku tentang kota kecil ini
sungguh ruarr biasa. Pertama jelas, Tanjung Pandan adalah kampung halaman tiga
kurcaciku, yang memang ketiganya terlahir di kota ini. Kedua, ketiga, keempat
dan seterusnya adalah rangkaian cerita yang berkesinambungan selama kurun waktu
kurang lebih 10 tahun yaitu antara tahun 1986 hingga 1995.
Awalnya untuk kami tinggal di mess
karyawan yang lokasinya berhadapan kumpulan tanaman bakau.
Menurut suamiku di hutan bakau tersebut ada
banyak sekali biawak liar yang kadang tersesat, setelah iseng-iseng `bermain` ,
menyebrang ruas jalan raya yang tak seberapa lebar didepan mess tempat tinggal
karyawan.
Yang menajubkan selama 10 tahun aku tinggal di
Tanjung Pandan, aku sama sekali tak menemui ada pengemis, tuna wisma, atau
orang gila yang berkeliaran di jalanan, pasar tradisionalnya pun bersih.
Keluar dari tempat jualan ikan laut segar, mata ini bisa melihat beberapa perahu nelayan yang sedang ditambatkan, kadang-kadang ada nelayan yang kesiangan tiba di pantai, dan itu berarti hasil tangkapannya biasanya akan dijual sendiri oleh keluarganya, mereka berkeliling dari rumah kerumah.
Bagiku hal ini ruaarr biasa sekali, karena akhirnya aku dan keluarga kecilku bisa menyantap ikan yang benar-benar masih segar.
Ikan segar jika langsung diolah biasanya terasa agak manis dan lebih gurih.
Penduduk Tanjung
Pandan bahkan hampir seluruh penduduk Pulau Belitong memang lebih meyukai hidangan
olahan yang terbuat dari ikan laut segar ketibang sayuran, tapi bukan berarti sama sekali tak mengkonsumsi sayuran, yang jelas, harga sayuran di sana, saat aku masih tinggal di Tanjung Pandan memang muahaaaalll.
Satu ketika salah seorang teman kantor suamiku
mengundang kami makan siang bersama di rumahnya, dan apa yang terlihat di meja
makan adalah serupa dengan sekawanan ikan yang sedang ber` demo.
-
Ada Ikan Bakar Polos (benar-benar hanya
sekedar dibakar saja tanpa bumbu apapun dengan sisik ikan yang tetap dibiarkan tanpa
disiangi terlebih dahulu) plus saus kecap berisi irisan cabai rawit, irisan
tomat dan bawang merah.
-
Ada ikan masak Kuning, rasa bumbuya
seperti acar kuning ..
-
Ada ikan masak Cabai Pedas, hampir
menyerupai badalo masakan Padang.
-
Dan yang terakhir adalah menu andalan
mereka yaitu ikan masak Gangan, menu ini adalah makanan khas Pulau Belitung,
kuahnya berwarna kuning, bisa kental bisa juga agak encer.
Artinya saat itu di meja makan sama sekali tak ada
sayuran sedikitpun. Tiba- tiba teman kantor suamiku seakan terhentak, lantas
dengan senyum setengah malu, dia meminta izin kepada kami untuk menunggu
sebentar.
15 menit kemudian dia datang menemui kami, sambil membisikkan sesuatu
ketelinga suamiku, ia menyuruh kami segera menyerbu kemeja makan.
Rupanya tadi
si tuan rumah bersama istrinya bergegas ke pasar membeli beberapa jenis sayuran
yang langsung di pamerkan di meja makan disertai sambal terasi tentunya.
“Maaf mbak, bini aku lupe, mbak kan suka lalap.” Kilahnya
di iringi senyum tersipu.
Meskipun masih terasa aneh di lidahku, demi penghormatan,
siang itu kucicip semua menu kawanan ikan laut, ternyata nikmat juga menyeruput
kuah Gangan. Akhirnya menu ikan Gangan menjadi topik hangat perbincangan kami
seusai makan siang.
Sebenarnya ada beberapa makanan khas yang hingga
kini juga menjadi menu favorite keluarga kecil, terbuat dari Ketam/ kepiting
laut.
Sayangnya untuk mendapatkan kepiting laut segar berukuran sedang saja semakin
hari semakin agak sulit di masa itu, karena ternyata para pencari kepiting
lebih menyukai menjual hasil tanggapannya ke pihak usaha industri rumahan
pengolahan kepiting, atau mungkin juga tangkapan kepiting ini harus berkorelasi
dengan musimnya.
Dahulu ketika kami masih tinggal di Tanjung Pandan,
setiap pagi kami selalu mendengar sirene, yang menandai waktu bekerja bagi
karyawan PT. Timah.
Tak ada kendaraan angkot saat itu, semua transportasi
rata-rata dilakukan dengan ber` krete angin` alias bersepeda, perbandingan
kepemilikan kendaraan antara pemilik motor dan pemilik `krete angin` hampir
sama, sebagian penduduk menyebut istilah sepeda ini kadang juga dengan sebutan
` Speda Unte`.
Perbedaan antara Krete angin dan speda Unte terletak
pada batang sepeda bagian depan, dipikir-pikir speda Unte memang nyaris
menyerupai leher onta.
Speda Unte ini adalah juga sepeda onthel yang kita kenal,
kini pencinta sepeda Onthel memiliki komunitas tersendiri di daerah Bogor, Jawa
Barat.
Berkeliling memutari kota ini rasanya tak lengkap
jika belum mengintip pantai Tanjung Pendam, Kenapa demikian? Sejujurnya saja,
kadang aku rindu untuk sekedar melihat susunan genting dari sebuah rumah.
Lho kok ? anehhhh….
Begini…
Rumah-rumah penduduk di sana kebanyakan tidak
memakai genting, melainkan asbes, bahkan ada yang menggunakan atap seng biasa.
Genting mungkin juga termasuk bahan bangunan yang agak mahal, dan mungkin inilah sebabnya hanya orang berduit lah yang rumahnya beratap genting.
Saat akan memasuki kawasan pantai Tanjung Pendam,
biasanya kami melintasi perumahan para pejabat PT Timah, setengah memohon aku
minta pada suamiku untuk mengurangi kecepatan laju motornya agar dapat
berlama-lama memandangi satu persatu rumah-rumah mewah milik para pejabat PT.
Timah.
Dan tentu saja hal pertama yang
kulihat adalah gentingnya. hehehhe …. :
-)
Sesuatu yang kerap dicari oleh para pendatang yang
menetap di P. Belitong adalah batu Satam, batu ini berwarna hitam pekat, warnanya
nyaris serupa dengan warna cairan aspal yang sedang dimasak.
Bentuk batu Satam
tidak beraturan, permukaannya tidak mulus, besarnyapun bervariasi.
Batu satam ini mungkin hanya
satu-satunya yang ada didunia.
Di Pulau Belitung sendiri,
tidak mudah untuk mendapatkan batu satam, apalagi untuk dijadikan
kerajinan.
Biasanya para perajin
mendapatkan batu satam dari para penambang timah darat, yang menemukan satam
ini secara kebetulan dari perut bumi dengan kedalaman 50 meter.
Mereka pun menemukannya
secara tak sengaja, terbawa oleh pipa pompa penghisap air yang diarahkan ke
sakan yaitu tempat untuk memisahkan pasir dan timah.
Di kalangan masyarakat
Belitung sendiri, batu satam ini dipercaya mempunyai kekuatan magis sebagai
penangkal penolak racun dan unsur makhluk-gaib.
Namun bagi wisatawan yang
berkunjung ke Pulau Timah ini, selalu menyempatkan diri membeli batu satam ini
sebagai cendramata khas Pulau Belitung, yang dijadikan kalung, giwang, bros,
cincin, tasbih, tongkat komando dan sebagainya, yang dikenal dengan istilah
kerajinan Satam.