Banyak hal yang bisa menjatuhkan kita. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkan kita adalah sikap kita sendiri.

Senin, 14 Mei 2012

Nganyao Suat Ke Tanjung Pandan – Belitong

Gangan, Krete Angin, dan Satam...

Pertama kali aku menginjakkan kaki di Pulau Belitung ini, yaitu di pelataran airport Buluh Tumbang, rasanya aneh sekali, aku kok gak merasa seperti kehilangan ya?, padahal ini berarti aku telah resmi berpisah dengan keluarga besarku di P. Jawa. 
Keluar dari bandara Buluh Tumbang, aku mulai disergap hangatnya sinar matahari pagi, belum seberapa terasa gerah bin hareudang, karena mungkin saja suhu tubuhku masih berisi pasokan `cinta pengantin baru`, heuheuy dedeuhh… 

Apa yang terekam di benakku tentang kota kecil ini sungguh ruarr biasa. Pertama jelas, Tanjung Pandan adalah kampung halaman tiga kurcaciku, yang memang ketiganya terlahir di kota ini. Kedua, ketiga, keempat dan seterusnya adalah rangkaian cerita yang berkesinambungan selama kurun waktu kurang lebih 10 tahun yaitu antara tahun 1986 hingga 1995.
Awalnya untuk kami tinggal di mess karyawan yang lokasinya berhadapan kumpulan tanaman bakau.   
Menurut suamiku di hutan bakau tersebut ada banyak sekali biawak liar yang kadang tersesat, setelah iseng-iseng `bermain` , menyebrang ruas jalan raya yang tak seberapa lebar didepan mess tempat tinggal karyawan. 

Yang menajubkan selama 10 tahun aku tinggal di Tanjung Pandan, aku sama sekali tak menemui ada pengemis, tuna wisma, atau orang gila yang berkeliaran di jalanan, pasar tradisionalnya pun bersih. 

Keluar dari tempat jualan ikan laut segar, mata ini bisa melihat beberapa perahu nelayan yang sedang ditambatkan, kadang-kadang ada nelayan yang kesiangan tiba di pantai, dan itu berarti hasil tangkapannya biasanya akan dijual sendiri oleh keluarganya, mereka berkeliling dari rumah kerumah.
Bagiku hal ini ruaarr biasa sekali, karena akhirnya aku dan keluarga kecilku bisa menyantap ikan yang benar-benar masih segar. 
Ikan segar jika langsung diolah biasanya terasa agak manis dan lebih gurih. 


Penduduk Tanjung Pandan bahkan hampir seluruh penduduk Pulau Belitong memang lebih meyukai hidangan olahan yang terbuat dari ikan laut segar ketibang sayuran, tapi bukan berarti sama sekali tak mengkonsumsi sayuran, yang jelas, harga sayuran di sana, saat aku masih tinggal di Tanjung Pandan memang muahaaaalll.
Satu ketika salah seorang teman kantor suamiku mengundang kami makan siang bersama di rumahnya, dan apa yang terlihat di meja makan adalah serupa dengan sekawanan ikan yang sedang ber` demo. 

-          Ada Ikan Bakar Polos (benar-benar hanya sekedar dibakar saja tanpa bumbu apapun dengan sisik ikan yang tetap dibiarkan tanpa disiangi terlebih dahulu) plus saus kecap berisi irisan cabai rawit, irisan tomat dan bawang merah.
-          Ada ikan masak Kuning, rasa bumbuya seperti acar kuning ..
-          Ada ikan masak Cabai Pedas, hampir menyerupai badalo masakan Padang.
-          Dan yang terakhir adalah menu andalan mereka yaitu ikan masak Gangan, menu ini adalah makanan khas Pulau Belitung, kuahnya berwarna kuning, bisa kental bisa juga agak encer.

Artinya saat itu di meja makan sama sekali tak ada sayuran sedikitpun. Tiba- tiba teman kantor suamiku seakan terhentak, lantas dengan senyum setengah malu, dia meminta izin kepada kami untuk menunggu sebentar. 
15 menit kemudian dia datang menemui kami, sambil membisikkan sesuatu ketelinga suamiku, ia menyuruh kami segera menyerbu kemeja makan. 
Rupanya tadi si tuan rumah bersama istrinya bergegas ke pasar membeli beberapa jenis sayuran yang langsung di pamerkan di meja makan disertai sambal terasi tentunya. 

“Maaf mbak, bini aku lupe, mbak kan suka lalap.” Kilahnya di iringi senyum tersipu.
Meskipun masih terasa aneh di lidahku, demi penghormatan, siang itu kucicip semua menu kawanan ikan laut, ternyata nikmat juga menyeruput kuah Gangan. Akhirnya menu ikan Gangan menjadi topik hangat perbincangan kami seusai makan siang. 

Sebenarnya ada beberapa makanan khas yang hingga kini juga menjadi menu favorite keluarga kecil, terbuat dari Ketam/ kepiting laut. 
Sayangnya untuk mendapatkan kepiting laut segar berukuran sedang saja semakin hari semakin agak sulit di masa itu, karena ternyata para pencari kepiting lebih menyukai menjual hasil tanggapannya ke pihak usaha industri rumahan pengolahan kepiting, atau mungkin juga tangkapan kepiting ini harus berkorelasi dengan musimnya. 

Dahulu ketika kami masih tinggal di Tanjung Pandan, setiap pagi kami selalu mendengar sirene, yang menandai waktu bekerja bagi karyawan PT. Timah. 
Tak ada kendaraan angkot saat itu, semua transportasi rata-rata dilakukan dengan ber` krete angin` alias bersepeda, perbandingan kepemilikan kendaraan antara pemilik motor dan pemilik `krete angin` hampir sama, sebagian penduduk menyebut istilah sepeda ini kadang juga dengan sebutan ` Speda Unte`. 

Perbedaan antara Krete angin dan speda Unte terletak pada batang sepeda bagian depan, dipikir-pikir speda Unte memang nyaris menyerupai leher onta. 
Speda Unte ini adalah juga sepeda onthel yang kita kenal, kini pencinta sepeda Onthel memiliki komunitas tersendiri di daerah Bogor, Jawa Barat. 

Berkeliling memutari kota ini rasanya tak lengkap jika belum mengintip pantai Tanjung Pendam, Kenapa demikian? Sejujurnya saja, kadang aku rindu untuk sekedar melihat susunan genting dari sebuah rumah.
Lho kok ? anehhhh….

Begini…
Rumah-rumah penduduk di sana kebanyakan tidak memakai genting, melainkan asbes, bahkan ada yang menggunakan atap seng biasa.
Genting mungkin juga termasuk bahan bangunan yang agak mahal, dan mungkin inilah sebabnya hanya orang berduit lah yang rumahnya beratap genting.

Saat akan memasuki kawasan pantai Tanjung Pendam, biasanya kami melintasi perumahan para pejabat PT Timah, setengah memohon aku minta pada suamiku untuk mengurangi kecepatan laju motornya agar dapat berlama-lama memandangi satu persatu rumah-rumah mewah milik para pejabat PT. Timah.   
Dan tentu saja hal pertama yang kulihat adalah gentingnya.  hehehhe …. : -)

Sesuatu yang kerap dicari oleh para pendatang yang menetap di P. Belitong adalah batu Satam, batu ini berwarna hitam pekat, warnanya nyaris serupa dengan warna cairan aspal yang sedang dimasak. 
Bentuk batu Satam tidak beraturan, permukaannya tidak mulus, besarnyapun bervariasi.

Batu satam ini mungkin hanya satu-satunya yang ada didunia. 
Di Pulau Belitung sendiri, tidak mudah untuk mendapatkan batu satam, apalagi untuk dijadikan kerajinan. 
Biasanya para perajin mendapatkan batu satam dari para penambang timah darat, yang menemukan satam ini secara kebetulan dari perut bumi dengan kedalaman 50 meter. 

Mereka pun menemukannya secara tak sengaja, terbawa oleh pipa pompa penghisap air yang diarahkan ke sakan yaitu tempat untuk memisahkan pasir dan timah.
Di kalangan masyarakat Belitung sendiri, batu satam ini dipercaya mempunyai kekuatan magis sebagai penangkal penolak racun dan unsur makhluk-gaib. 
Namun bagi wisatawan yang berkunjung ke Pulau Timah ini, selalu menyempatkan diri membeli batu satam ini sebagai cendramata khas Pulau Belitung, yang dijadikan kalung, giwang, bros, cincin, tasbih, tongkat komando dan sebagainya, yang dikenal dengan istilah kerajinan Satam.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar