Sama sekali tak terbayang, kalau
nantinya aku bakalan lama terdampar di Sumatera, dan sepertinya kesempatan untuk mudikpun harus di audit ber-ulang kali, demi melihat kondisi macetnya jalan
menuju Sukabumi tercintaku..
Sukabumi dalam ingatanku tidaklah
banyak, kusebut tak banyak, karena jujur saja aku agak kesulitan untuk
merangkai memory thinkingku kembali, jadi?
Aku akan memulainya dari yang
terdekat dahulu, kemana?
Kita ke SD Brawijaya dulu…
SD dimana dahulu aku bersekolah.
Yang pertama, jelas aku mau
menyebut sebuah nama yang ruarr biasa telah membuat aku jatuh cinta, yaitu
CIWANG, ehmmm ..beradu, berpelukan dengan sambal kacang uenaak tenan. Ciwang itu
singkatan Aci jeung Bawang.
Makanan ini sebenarnya tak baik jika
dikonsumsi pagi hari, dan biasanya sebelum lonceng di tabuh pak Haris yang bertubuh
jangkung, gerombolan bocah tanpa seragam dan hanya bersendal jepit kesekolah
itu telah berkerumun diseputar warung bibik istri penjaga sekolah, sepotong-dua
potong CIWANG sebagai tambahan sarapan jadilah.., cukup memacu stamina belajar.
(jangan ditiru!)
Hari Senin adalah hari special buat
kami, kenapa.?
Hari Senin adalah hari ber-sepatu,
berbaju putih-putih, ritual bersepatu kelinci putih bagi pemilik sepatu kelinci
yang tidak semua putih bersih itu, bisa diakali, mudah dan cepat.
Ada kolam ikan yang sama sekali tak
terlihat ikannya, letaknya persis disamping kantor ibu Roro Juariah, sang Ibu
Kepsek.
Lantas sepatu-sepatu yang berwarna putih tua itu, kami
kelir dengan potongan kapur tulis, sebelumnya si kapur tulis dicelupkan
terlebih dahulu ke air keruh di kolam tadi, lantas di gosok2 ke spatu kelinci,
10 menit kering, dan jadilah sepatu Kelinci putih dadakan, mendadak putih dan
mendadak pula bisa sewaktu-waktu kembali kewarna asal, yaitu putih tua.
Biasanya pak Tatang akan selalu siap
menggantikan ibu Roro jika berhalangan hadir saat Apel bendera.
Ternyata hari itu, adalah Senin
menyebalkan buat aku, pasalnya, karena tergiur si Ciwang yang imut2 dengan
sambal kacang yang menggugah selera tadi, tanpa sadar, aku menghabiskan 4
potong ciwang, dengan takaran sambal yang so pasti lebih banyak.
Hari itu, uang saku ku agak lebih
dari biasa, karena sehari sebelumnya ada uwakku datang dari Jakarta, dan
beliau memberiku uang.
Tiba giliran apel bendera, isi
Ciwang diperutku, mendadak berontak, badanku berkeringat dingin, dan tiba-tiba
pandangan mataku gelap, aku sempoyongan, dan terkulay lemas, mun ceuk urang sunda mah, eta teh asup
angin, jeung nyeri beuteung
Rasa tak nyaman, tambah gak keruan,
karena seharusnya pak Tatang berdiri didepan murid-murid yang sedang apel, tapi
entah kenapa saat aku di gotong ke UKS, pak Tatang malah ikut mengantar, ikut
sibuk, di ruang UKS.
Sejujurnya aku malu mengakui satu
hal, terus terang saja jika berdekat-dekat dengan pak Tatang ini perasaanku
jadi tak nyaman, lho memangnya
mengapa..?.
Aku kesal dengan pak Tatang, karena
beliau terlalu perduli dengan kawan sebangku, dan kawan sebangku itu bernama :
Kiki Ratnasari, sigadis berkepang dua,
penyuka warna hijau itu kerap membuatku marah, karena apa-apa Kiki, apa-apa Kiki, poko`e
Kiki lagi Kiki lagi.
Aiiiiiih … bocah ingusan seusiaku ternyata
kenal juga yang nama jealous, idiiiiih …
Beruntung si Kikiwik tadi tak ikut
nyelonong menontonku saat aku kesakitan menahan sakit perut, namun entah
kenapa, tiba-tiba, pak Tatang bersuara sedikit keras.
“Kamu
teh tadi sarapan heula teu?, ditunggu sama Kiki aja yaa ..,
Kikiiiiiiiii, Kiiii, Kikiiiiii ..!” Suara berat pak Tatang seakan bergetar
menghantarkan gelombang magnit.
Nah, benar kan.? Kiki lagi Kiki lagi,
pikirku dalam hati, hadeeeuh, tambah sakit perut rasanya, jangan …jangan…oh
..jangan.. jangan.. , duuuh fusyiiiing kefalaku …
Gadis berkepang dua itu dalam
hitungan menit telah berada disamping dipan UKS.
“Eh Adhe kunaoooon..? hihihi.” tanpa kuduga, Kiki mengacungkan coklat
ke arahku, sakit perutku mendadak hilang.
Sementara teman-temanku lainnya melanjutkan
upacara bendera, Kiki menemaniku di UKS.
Lantas kami berbincang, sebenarnya
Kiki itu baik, terlalu baik malah, tapi Kiki tak mengerti, bahwa dalam diri
ini, ada sebuah keinginan yaitu keinginan sebuah `pengakuan diri`, pengakuan
bahwa aku juga sama seperti Kiki`.
Kiki memang cerdas tapi seingatku
dulu aku pun gak goblok-goblok amat.
Pagi itu Kiki berbisik.
“Adhe, sakit perut jangan
ditahan-tahan, ari arek hitut mah, nyaa
hitut we..mumpung keur teu aya sasaha.”
Gadis berkepang itu ngikik, pita kepangnya bergerak-gerak.
Fenomena anehpun tersanding, dua
bocah berlainan tampilan, lantas asyik ngrumpi komik Hans Christian
Andersen, yang satu rada kuleuheu, yang satu manis, rapi jali, dan baik hati,
jangan salahkan Tuhan, jika mereka akrab satu sama lain, bahkan hingga puluhan
tahun kedepannya, adakah sesuatu bisa dimaknai disini..?
Benar, mereka bisa saling
melengkapi, Asli ..!
Selama satu tahun aku sebangku
dengan Kiki di kelas enam, kami tak pernah bermusuhan, apalagi bertengkar.
Jika Kiki sedang marah ia hanya
menandai bangkunya, menggaris meja tulis disekolah kami dengan pengaris
dan poltot dengan penggaris panjang, lantas, sruuuut ….. !
Batas area jalur gazapun tergambar,
selebihnya tak ada apapun, terkecuali besoknya aku membawakan dia komik HC. Andersen,
plus senyum tentunya.
“Maapin adhe Ki.” Aku mengalah
menegur duluan teman sebangkuku, dan Kiki yang baik hati seketika akan menyambut
komikku terlebih dahulu, memeriksanya sejenak, (sudah pernah dibaca atau belum),
jika belum, Kiki akan tersenyum manizz.
“Iyaa Dhe, sama2, maapin Kiki juga.”
Jalan-jalan menelusuri masa
lampauku, menghadirkan sebuah pemahaman, bahwa, kadang untuk melakoni `BISA`
itu wajib diikuti `BAIK` meski tak selalu mutlak `BENAR`, karena Baik dan benar
hanyalah milik Allah Ta`ala.
`Allahumma Alhimni Rusydii Wa Qinii
Syarro Nafsii``
(Yaa Allah, berikan Ilham kepadaku agar selalu mengikuti
Kebenaran dan Peliharalah aku dari segala Keburukanku)
Catatan :
Coklat adalah makanan kesukaanku,
yang dalam situasi apapun coklat hingga kini kerap mengelabui situasiku
sesungguhnya.
Bandarlampung, 07 Mei 2012 - mutasi isi Butterfly Islami Bintang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar